In-Situ Combustion merupakan salah satu metode peningkatan perolehan minyak yang tergabung dalam kelompok peningkatan perolehan termal (Thermal Enhanced Oil Recovery (EOR)). Dalam in-situ combustion, udara yang kaya akan oksigen diinjeksi ke dalam reservoir. Oksigen kemudian bereaksi dengan minyak di reservoir dalam bentuk reaksi pembakaran (combustion). Reaksi pembakaran ini menyebabkan kenaikan temperatur reservoir dari temperatur awal formasi menjadi temperatur combustion. Kenaikan temperatur reservoir menyebabkan penurunan viskositas minyak dan selanjutnya akan menyebabkan penambahan mobilitas minyak, sehingga dapat menambah tingkat perolehan minyak. Dalam in-situ combustion, terdapat volume minyak in-place yang terpakai dalam proses pembakaran. Minyak in-place yang terpakai dalam proses pembakaran disebut sebagai bahan bakar (fuel).
Prediksi performa reservoir di bawah proses in-situ combustion sangat diperlukan dalam studi awal reservoir (preliminary study) sebelum dilakukan penerapan di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan suatu model sederhana yang dapat memprediksi performa reservoir di bawah proses in-situ combustion secara akurat. Sehubungan dengan ini, penelitian ini dilakukan untuk membangun suatu model sederhana yang dapat memprediksi performa reservoir di bawah pengaruh proses in-situ combustion.
Predictive model yang dibangun mencakup dua mekanisme in-situ combustion, yaitu dry in-situ combustion dan wet in-situ combustion. Untuk dry in-situ combustion, predictive model mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Brigham, et al (1980). Brigham, et al membangun dua korelasi untuk memprediksi performa reservoir di bawah penerapan dry in-situ combustion. Dua korelasi ini dibangun berdasarkan data lapangan dari reservoir yang berproduksi di bawah pengaruh proses dry in-situ combustion.
Korelasi dibangun berdasarkan konsep teknik dan statistik. Parameter-parameter yang biasa muncul dalam persamaan kesetimbangan panas maupun kesetimbangan massa akan disertakan sebagai variabel-variabel dalam korelasi. Selanjutnya, parameter-parameter lain yang pengaruhnya dianggap signifikan terhadap performa reservoir akan dijadikan variabel tambahan dalam korelasi. Korelasi yang dibangun menghubungkan variabel perolehan minyak dengan variabel volume fluida injeksi (recovery vs. volume injected fluid).
Beberapa asumsi beserta batasan dari korelasi Brigham, et al adalah sebagai berikut:
Korelasi menghubungkan perolehan minyak dengan volume injeksi udara. Kadar oksigen dalam udara (yang diinjeksikan) merupakan parameter penting dalam proses in-situ combustion. Istilah injeksi udara efektif (effective air injected) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang terkandung di dalam udara yang diinjeksikan ke dalam reservoir. \[effective\ air\ injected = a_ie_{O_2}...(1)\] Jumlah injeksi udara efektif per volume batuan reservoir (sebagai sumbu x atau absis dalam korelasi) dinyatakan oleh persamaan berikut. \[absis = \frac{injeksi\ udara\ efektif}{volume\ batuan\ reservoir} = a_i \frac{\phi S_o}{N}\frac{e_{O_2}}{1-\phi}...(2)\] dimana: \(a_i\) = injeksi udara kumulatif \(e_{O_2}\) = oxygen utilization \(\phi\) = porositas (fraksi) \(S_o\) = saturasi minyak saat combustion dimulai (fraksi) \(N\) = OIP saat combustion dimulai (bbl).
Dalam in-situ combustion, sebagian volume minyak di reservoir akan terpakai dalam proses pembakaran (disebut volume of fuel burned = \(\Delta N_b\)). Perbandingan antara jumlah peningkatan volume produksi minyak dan peningkatan volume fuel burned terhadap OOIP (sebagai sumbu y atau ordinat dalam korelasi) dinyatakan oleh persamaan berikut. \[ordinat = \frac{peningkatan\ volume\ produksi\ minyak\ +\ peningkatan\ volume\ fuel\ burned}{OOIP}\] \[ordinat = \frac{\Delta N_p + \Delta N_b}{OOIP}...(3)\]
Persamaan (2) dan (3) secara berurutan menyatakan absis (sumbu x) dan ordinat (sumbu y) dari korelasi yang akan dibangun. Parameter-parameter yang dinyatakan dalam kedua persamaan ini adalah parameter-parameter berdasarkan tinjauan teknik. Untuk melengkapi tinjauan teknik, dilakukan penambahan parameter melalui tinjauan statistik dengan analisis multiple linear regression. Melalui multiple linear regression, parameter-parameter yang dianggap signifikan dan belum disertakan dalam persamaan (2) dan (3) akan disertakan ke dalam korelasi.
Brigham, et al membangun dua korelasi berikut.
Korelasi I \[\frac{y}{36.53}=(0.02S_o - 0.001h - 0.00082\mu_o)x...(4)\] dimana: \[y = \left( \frac{\Delta N_p + \Delta N_b}{OOIP} \right)100...(5)\] \[x = \frac{a_ie_{O_2}}{\left(\frac{N}{\phi S_o}\right)(1-\phi)}...(6)\] Interval nilai dimana persamaan (4) berlaku baik adalah: \[0.36 < S_o < 0.79\] \[4.4 < h < 150\] \[10 < \mu_o < 700\]
Korelasi II \[\frac{y}{47}=\left[0.427S_o - 0.00135h - 2.196\left(\frac{1}{\mu_o}\right)^{0.25}\right]x...(7)\] dimana: \[y = \left( \frac{\Delta N_p + \Delta N_b}{OOIP} \right)100...(8)\] \[x = \frac{a_ie_{O_2}}{\left(\frac{N}{\phi S_o}\right)(1-\phi)}...(9)\] Interval nilai dimana persamaan (7) berlaku baik adalah: \[0.36 < S_o < 0.79\] \[4.4 < h < 150\] \[10 < \mu_o < 700\]
Pada kedua korelasi ini, parameter viskositas minyak (3) mendapat perhatian khusus. Jika input viskositas minyak di atas 700 cp, maka Brigham menyarankan untuk menggunakan korelasi II. Namun, jika input viskositas minyak di bawah 10 cp, Brigham menyarankan untuk menggunakan korelasi I.
Korelasi I memiliki standard deviasi 17% dengan error maksimum 21%, sedangkan korelasi II memiliki standard deviasi 9% dengan error maksimum 14%. Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa korelasi II memberikan hasil yang lebih baik daripada korelasi I.
Viskositas minyak dihitung dengan terlebih dahulu menghitung nilai viskositas minyak pada temperatur 100°F dan 210°F.
Untuk API ≤ 10: \[\mu_{o,100} = 10^{(8.35928-0.37539API)}...(10)\] \[\mu_{o,210} = 10^{(3.15424-0.11862API)}...(11)\] Untuk API > 10: \[\mu_{o,100} = exp \left[BB(1)API + BB(2) +\frac{\alpha_3}{API} \right]...(12)\] \[\alpha_3 = \frac{\alpha_2}{API}+ BB(3)...(12.a)\] \[\alpha_2 = \frac{\alpha_1}{API}+ BB(4)...(12.b)\] \[\alpha_1 = \frac{BB(6)}{API}+ BB(5)...(12.c)\] \[\mu_{o,210} = exp \left[BB(7)API + BB(8) +\frac{\alpha_6}{API} \right]...(13)\] \[\alpha_6 = \frac{\alpha_2}{API}+ BB(9)...(13.a)\] \[\alpha_5 = \frac{\alpha_1}{API}+ BB(10)...(13.b)\] \[\alpha_4 = \frac{BB(6)}{API}+ BB(11)...(13.c)\] dimana: \(\mu_{o,100}\) = viskositas minyak pada temperatur 100°F, cp \(\mu_{o,210}\) = viskositas minyak pada temperatur 210°F, cp \(API\) = gravity oil, °API \(BB(i)\) = konstanta korelasi viskositas.
Selanjutnya, viskositas minyak dihitung menggunakan persamaan berikut. \[\mu_o = Y(VIS)^X...(14)\] \[Y = BB(19)R_s + BB(20) + \frac{BB(21)}{R_s}+\frac{BB(22)}{R_s^2}+\frac{BB(23)}{R_s^3}+\frac{BB(24)}{R_s^4}...(14.a)\] \[X = BB(31)R_s + BB(32) + \frac{BB(33)}{R_s}+\frac{BB(34)}{R_s^2}+\frac{BB(35)}{R_s^3}+\frac{BB(36)}{R_s^4}...(14.b)\] \[VIS = \mu_{o,100} \left(\frac{T_{form}}{100}\right)^{1.345 \log \left( \frac{\mu_{o,210}}{\mu_{o,100}} \right)}...(14.c)\] dimana: \(R_s\) = solution gas oil ratio \(T_{form}\) = temperatur formasi
Nilai konstanta korelasi viskositas, BB(i), untuk setiap i diberikan di tabel berikut.
i | BB(i) | i | BB(i) | i | BB(i) | i | BB(i) |
---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | -0.000676825 | 11 | -190.395376 | 21 | 281.437484 | 31 | -7.34671E-05 |
2 | -3.89570682 | 12 | 4161.01142 | 22 | -53791.9095 | 32 | 0.541912201 |
3 | 272.18035 | 13 | -0.001495773 | 23 | 4985256.03 | 33 | 133.649237 |
4 | -3470.80586 | 14 | 0.944396001 | 24 | -173099129 | 34 | -26771.3439 |
5 | 36881.4527 | 15 | 3.98464375 | 25 | -0.000475188 | 35 | 2799780.44 |
6 | -148843.074 | 16 | -186.338863 | 26 | 0.884019819 | 36 | -110373996 |
7 | -0.025195294 | 17 | 3325.20064 | 27 | 7.38565439 | 37 | 0.000547457 |
8 | -0.964528667 | 18 | -18147.1583 | 28 | -237.472458 | 38 | -0.375792641 |
9 | 95.0590107 | 19 | -4.55391E-05 | 29 | 3301.29337 | 39 | 135.019571 |
10 | -398.368883 | 20 | 0.134211338 | 30 | -15644.0226 | 40 | -857.863129 |
41 | -68814.674 | ||||||
42 | 1178800.05 |
Faktor volume formasi minyak, Bo, dihitung menggunakan korelasi Vasquez-Beggs. \[B_o = 1 + C_1R_s+(C_2+C_3R_s)(T-60) \left( \frac{API}{\gamma_{g.100}} \right) ...(15)\] dimana: Untuk API \(\leq\) 30: \[C_1 =4.677(10^{-4})\] \[C_2 =1.751(10^{-5})\] \[C_3 =-1.811(10^{-8})\] Untuk API > 30: \[C_1 = 4.67 (10^{-4})\] \[C_2 = 1.1 (10^{-5})\] \[C_3 = 1.337 (10^{-9})\]
Dengan asumsi air formasi berupa pure water, faktor volume formasi air dihitung menggunakan persamaan berikut. \[B_w = 1 + [1.2(10)^{-4}(T_{form}-60)] + [1(10)^{-6}(T_{form}-60)^2] - [3.33(10)^{-6}P_{form}]...(16)\] dimana: \(T_{form}\) = temperatur formasi = \(70 + \left[(depth)(0.011 \frac{^\circ F}{ft})\right]\) \(P_{form}\) = tekanan formasi = \(14.7 + \left[(depth)(0.011 \frac{0.433}{2} \frac{psi}{ft})\right]\).
Nilai laju injeksi udara ditentukan berdasarkan asumsi bahwa lama injeksi udara dibatasi maksimum 10 tahun. Selanjutnya, nilai default laju injeksi untuk tahun pertama adalah sebesar 50% dari nilai laju yang diperoleh dari persamaan (17), dan konstan sesuai dengan nilai laju yang diperoleh dari persamaan (17) untuk tahun-tahun selanjutnya. \[Q_{air,inj} = \frac{43560A_{patt}h_{net}V_{sweep}AR}{\left( \frac{365}{t_{life}} \right)} ...(17)\] dengan: \[A_{patt} = \frac{A}{N_{well,inj}}...(18)\] \[N_{well,inj} = \frac{N_{well,prod}}{2}...(19)\] \[AR = [0.073 \log \mu_o]+0.2 -0.1f_{wa}...(20)\] \[ f_{wa} = \begin{cases} 0,\ dry\ combustion \\ 1,\ wet\ combustion \\ \end{cases} ...(21) \] dimana: \(Q_{air,inj}\) = laju injeksi udara, MSCF/D \(A_{patt}\) = pattern area \(h_{net}\) = net thickness, ft \(V_{sweep}\) = volumetric sweep = \(\begin {cases} 0.4,\ jika\ A \geq 20\ acres\\ 0.5,\ jika\ 5 \leq A \leq 20\ acres \\ 0.6,\ jika\ A < 5\ acres\end{cases}\) \(A\) = luas daerah reservoir(area) \(N_{well,inj}\) = jumlah sumur injeksi per area \(N_{well,prod}\) = jumlah sumur produksi per area \(f_{wa}\) = perbandingan air dengan udara, STB/MSCF = \(\begin{cases} 0,\ untuk\ dry\ combustion \\ 1,\ untuk\ wet\ combustion \end{cases}\)
Algoritma yang digunakan dalam menghitung parameter-parameter recovery adalah berdasarkan metode Brigham, et al (1980) untuk dry in-situ combustion dan metode Ganon-Wygal (1974) dan Prats (1982) untuk wet in-situ combustion.
Beberapa asumsi dan batasan dari predictive model yang dibangun adalah sebagai berikut.
Besarnya tekanan injeksi dihitung menggunakan persamaan berikut. \[P_{inj} = \left[ \frac{Q_{air,inj} \log (626A_{patt}^{0.5})}{[2.2(10)^{-5-f_{wa}}]kh_{net}+P_{form}^2} \right]^{0.5}...(22)\] Nilai tekanan injeksi harus lebih kecil dari tekanan formasi. Nilai default yang digunakan adalah \[P_{inj} = P_{form} + 200\]
Kebutuhan daya kompressor per pola injeksi (horsepower compressor) dapat diprediksi melalui persamaan berikut. \[HP_{compressor} = \frac{Q_{air,inj}}{48.13(10)^3(PDP^{0.25})}...(23)\] \[PDP = 1.2 [[1.81(10)^{-6}(depth+1500)Q_{air,inj}^2]+[P_{inj}^2]]^{0.5}...(23)\] dimana: \(HP_{compressor}\) = kebutuhan daya kompressor \(Q_{air,inj}\) = laju injeksi udara \(P_{inj}\) = tekanan injeksi
Jumlah injeksi udara kumulatif, \(V_{air,cum}\) dan jumlah injeksi air kumulatif, \(V_{water,cum}\) dihitung untuk setiap time step i menggunakan persamaan berikut. \[V_{air,cum}(i)=V_{air,cum}(i-1) + \left[Q_{air,inj}t_D \left( \frac{365.25}{1000} \right)\right]...(24)\] \[V_{water,cum}(i)=V_{water,cum}(i-1) + \left[0.5f_{wa}Q_{air,inj}t_D \left( \frac{365.25}{1000} \right)\right]...(24)\] dimana: \(V_{air,cum}\) = kumulatif injeksi udara, MMSCF \(V_{water,cum}\) = kumulatif injeksi air, MSTB \(t_D\) = dimensionless time = \(\begin{cases} 0.25,\ untuk\ t < 1\ tahun \\ 0.5,\ untuk\ t > 1\ tahun \end{cases}\) \(t\) = lama injeksi, tahun \(f_{wa}\) = perbandingan air dengan udara
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada in-situ combustion terdapat sejumlah minyak in-place yang terpakai dalam proses pembakaran. Volume minyak yang terpakai dalam proses pembakaran ini dihitung untuk setiap time step i menggunakan persamaan berikut: \[N_{fuel}(i) = \frac{V_{air,cum}(i)}{AFR}...(26)\] dimana: \(N_{fuel}(i)\) = volume minyak yang terpakai dalam proses pembakaran \(AFR\) = perbandingan volume udara terhadap volume bahan bakar (air-fuel ratio), nilai default = 70 MSCF/STB.
Volume zona pembakaran dinyatakan oleh persamaan berikut. \[V_{burn} = \frac{1000[V_{air,cum}(i)-V_{air,cum}(i-1)]}{\left( \frac{AR}{43560} \right)}...(27)\] dimana: \(V_{burn}\) = volume zona pembakaran (burned zone volume) \(AR\) = kebutuhan udara, MSCF/cuft.
Produksi minyak kumulatif dihitung di setiap time step i menggunakan persamaan berikut. \[N_p(i) = [0.64(OIP) \tan Y] - N_{fuel}(i)...(28)\] \[OIP = \frac{7758 \phi S_{oi} A_{patt}h_{net}}{\left( \frac{B_{oi}}{1000} \right)}...(29)\] dengan: \[Y = 0.581X^{0.82}...(30)\] \[X = 1000C_1C_2[V_{air,cum}(i)+V_{water,cum}(i)]...(31)\] \[C_1 = (0.427S_{oi} - 0.00135h_{net}) + \frac{2.196}{\mu_o^{0.25}}...(32)\] \[C_2 = \frac{oxygen\ utilization}{\left( \frac{7758A_{patt}h_{net}}{B_{oi}} \right)(1-\phi)} ...(33)\] dimana: \(N_p\) = produksi minyak kumulatif, MSTB \(OIP\) = jumlah oil in place saat in-situ combustion dimulai \(\phi\) = porositas \(S_{oi}\) = saturasi minyak saat in-situ combustion dimulai \(B_{oi}\) = faktor volume formasi minyak saat in-situ combustion dimulai \(oxygen\ utilization\) = kadar oksigen dalam udara yang diinjeksikan ke reservoir (nilai default = 0.95).
Dengan asumsi temperatur zona pembakaran adalah 1260°F pada kondisi tekanan injeksi \(P_{inj}\), maka produksi gas kumulatif dihitung di setiap time step i menggunakan persamaan berikut. \[G_p(i) = G_p(i-1) + \frac{[(339.6825t_DQ_{air,inj})+(1-(1.93\phi P_{inj}V_{burn}(S_{wr}f_{wa})))]}{1000}...(34)\] dimana: \(G_p\) = produksi gas kumulatif, MMSCF \(S_{wr}\) = saturasi air residu (setelah pembakaran) \(V_{burn}\) = volume zona pembakaran.
Produksi air kumulatif dihitung di setiap time step i menggunakan persamaan berikut. \[W_p(i) = W_p(i-1) + \frac{365.25f_{wa}Q_{air,inj}t_D+ \left( \frac{7758 \phi V_{burn}(1-(S_{wr}f_{wa})-S_{oi})}{B_{wi}} \right)}{1000} ...(35)\] dimana: \(W_p\) = produksi air kumulatif \(B_{wi}\) = faktor volume formasi air, bbl/STB.